Rabu, 02 Januari 2013

Keharmonisan di PP salafiyah syafi'iyah


KOMPAS.com (18 Agustus 2012) - Memasuki gerbang Desa Banuroja, Kabupaten Pohuwato, Gorontalo, seolah-olah memasuki perkampungan umat Hindu. Hampir setiap rumah dilengkapi pura. Namun, nuansa Hindu mendadak berganti saat memasuki pusat desa. 
Tepat di depan balai desa, berdiri tegak dinding tembok bertuliskan Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah. Pada Kamis siang pekan lalu tampak puluhan remaja putri mengenakan jilbab dan yang putra sebagian memakai kopiah. Para remaja putri dan putra itu adalah santri (murid) di Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah yang terletak di seberang Kantor Desa Banuroja.
Ada sebuah masjid di salah satu sudut kompleks pesantren. Sekitar 100 meter dari pesantren, berdiri dua gereja, yakni Gereja Protestan Indonesia Gorontalo dan Gereja Pantekosta. Itulah Banuroja, sebuah desa multietnis dan agama yang berpuluh tahun hidup rukun.
Desa Banuroja terletak di bagian barat Provinsi Gorontalo, sekitar 250 kilometer dari Kota Gorontalo. Nama desa ini sesungguhnya merupakan akronim dari etnis yang bermukim di sana: Bali, Nusa Tenggara Barat, Gorontalo, dan Jawa.
Selain ada empat etnis, di desa tersebut juga ada tiga agama yang dianut warga, yakni Hindu, Islam, dan Kristen. Pemukim di Banuroja adalah transmigran dari Bali, Jawa, dan Mataram serta sebagian warga lokal di Gorontalo.
Berdasarkan data yang ada di Kantor Desa Banuroja, penduduk desa itu pada 2012 berjumlah 948 jiwa (278 keluarga). Dari jumlah tersebut, penduduk yang beretnis Bali sebanyak 402 jiwa, Jawa 279 jiwa, Sasak (Nusa Tenggara Barat) 227 jiwa, serta sisanya yang berjumlah 78 jiwa berasal dari Gorontalo.
Kepala Desa Banuroja Abdul Wahid mengakui hal tersebut. Menurut dia, kunci menjaga kerukunan di Bonuroja adalah silaturahim (persaudaraan). Jalinan hubungan baik, terutama antara pemuka agama dan tokoh masyarakat di Banuroja, harus terus-menerus dijaga. Itu adalah cara ampuh menjaga komunikasi dan mencegah bibit perpecahan atau kecurigaan yang berpotensi menimbulkan konflik.
”Kita perlu rajin mendekati tokoh masyarakat dan pemuka agama, berkomunikasi, berbagi, dan menjalin rasa persaudaraan sehingga timbul kebersamaan,” kata Wahid.
Wahid juga memiliki jurus jitu agar tidak timbul kecemburuan sosial antarwarga yang berbeda etnis dan agama di Banuroja. Beberapa kepala urusan dan pamong di Banuroja harus mengakomodasi etnis yang ada di Banuroja.
Sebagai kepala desa, Wahid berasal dari suku Sasak, sementara Ketua Badan Permusyawaratan Desa berasal dari Bali. Sekretaris Desa yang dijabat Febri Yahya adalah putra asli Gorontalo. Adapun empat kepala dusun di Banuroja berasal dari Bali, Jawa, Nusa Tenggara Barat, dan Gorontalo.
Bahkan, kepala desa di era sebelum Abdul Wahid dijabat penganut Kristen yang notabene dari kelompok minoritas di desa itu. Menurut Wahid, tidak ada batasan etnis dan agama untuk tampil sebagai kepala desa.
”Walaupun Kristen terbilang minoritas di Banuroja, jika memang ada umat mereka yang layak memimpin sebagai kepala desa, maka akan dipilih. Ini juga salah satu cara agar tidak timbul kecemburuan sosial di Banuroja,” ujar Wahid.

Idul Fitri-hari raya lain
Ada tradisi unik di Banuroja yang sampai kini terus-menerus dijaga. Tradisi tersebut adalah bersilaturahim antarpemeluk agama pada hari besar agama masing-masing. Misalnya, saat umat Islam di Banuroja merayakan Idul Fitri, warga pemeluk Hindu dan Kristen berbondong- bondong meramaikan suasana. Warga pemeluk Hindu akan mengirimkan buah-buahan segar dan umat Kristiani menyerahkan aneka macam penganan kepada kaum Muslim.
”Kue yang kami bagikan pada hari raya Idul Fitri adalah kue yang kami pesan kepada orang Muslim agar tidak menimbulkan kecurigaan. Itu sudah kami lakukan setiap Idul Fitri,” kata Djeek Detamor Gandey, penatua (pengurus gereja untuk membantu tugas pendeta) di Banuroja.
Pengelola Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah di Desa Banuroja, KH Abdul Ghofir Nawawi mengakui, saat umat Hindu dan Kristen merayakan hari besar agama mereka, pimpinan dan perwakilan santri pesantren berkunjung. Maksud kunjungan tersebut semata-mata untuk bersilaturahim dengan tokoh dan warga Hindu serta Kristen. Jalinan silaturahim itu tak pernah absen dilakukan saat Natal dan Nyepi.
”Saya dan beberapa santri biasa mengunjungi tokoh dan pemuka dari Hindu atau Kristen ketika perayaan Natal dan Nyepi. Biasanya kami bawakan mereka hasil bumi, seperti jagung atau jeruk,” ujar KH Abdul Ghafir Nawawi
Tak hanya saat perayaan hari besar agama, pesantren yang memiliki agenda rutin pengajian akbar sekali dalam sebulan pun turut dihadiri warga umat Hindu atau Kristen.
Hal itu diakui Ketua Badan Permusyawaratan Desa Banuroja I Made Suardana yang asli putra Bali dan memeluk agama Hindu. Menurut dia, jika tak ada kegiatan penting, dirinya turut menghadiri pengajian akbar yang diselenggarakan pihak pesantren sekali dalam sebulan. ”
Saya tidak mempersoalkan materi dalam pengajian. Sebab, yang dibahas adalah bagaimana menjaga kerukunan antarumat dan sikap saling toleransi,” kata Made.
Hubungan harmonis antarpemeluk dan etnis di Banuroja perlu jadi inspirasi di tengah sentimen isu SARA.

2 komentar:

  1. organisasi alumni salafiyah-syafi'iyah akan segera terwujud..

    FORUM KOMUNIKASI ALUMNI SALAFIYAH-SYAFI'IYAH

    BalasHapus
  2. mohon doa dan dukungannya,,baik materi,tenaga dan fikiran.....

    BalasHapus